Beberapa waktu yang lalu, ada seorang ibu yang datang ke rumah ku. Beliau ternyata mencari Ayah untuk mengedukan persoalannya. Lho kok ke Ayahku beliau ngadunya? Iya, karena baru sebulan ini Ayahku diangkat menjadi RW di komplek tempat tinggal kami.
Saat beliau datang, pas pula ayah tidak sedang di rumah. Ku buka pintu dan pagar, "Ayah sedang keluar, bersama ibu, ada Pesan atau Bagaimana Bu? atau ada yang bisa Riky bantu? Lalu tanpa menunggu lama Ibu tersebut langsung bicara panjang lebar persoalan yang sedang di hadapinya.
Setelah sekian lama, "Bu silahkan masuk, manatahu sebentar lagi Ayah pulang,"sahutku. Itupun setelah ku berikan nomor telpon Ayah dan beliau mengajak ku pula untuk ke rumahnya membantu mengatasi persoalannya. "Maaf bu, ini wewenang RT atau RW, saya gak ada apa-apanya untuk persoalan Ibu, baik nya langsung sama Ayah saja ya bu," bilang ku lagi.
Setelah sekian lama, "Bu silahkan masuk, manatahu sebentar lagi Ayah pulang,"sahutku. Itupun setelah ku berikan nomor telpon Ayah dan beliau mengajak ku pula untuk ke rumahnya membantu mengatasi persoalannya. "Maaf bu, ini wewenang RT atau RW, saya gak ada apa-apanya untuk persoalan Ibu, baik nya langsung sama Ayah saja ya bu," bilang ku lagi.
Panjang beliau bercerita,hampir 20 menit. Persoalanya terkait batas rumah belakang beliau dengan tetangga belakang rumahnya. Ibu ini sudah lama menempati rumahnya, kemudian datang orang yang membeli lahan dibelakang rumah beliau dan mendirikan rumah langsung dua lantai. Persoalannya, ruang celah belakang antara rumah si Ibu dan si calon tetangga, ditutup rapat sama si pendatang baru. Sehingga rumah ibu ini tidak ada tempat pembuangan air dan tempat sumber cahaya tertutup yang mengakibatkan rumah Ibu ini, harus selalu menghidupkan lampu ketika mau ke dapur atau ke kamar mandinya.
Awalnya ibu ini, menjelekkan RT yang bilang gak mau tahu dan gak ada iktikat untuk membantu mengatasi persoalan warganya dan menuding pendatang baru ini yang tidak ada izin IMB dan membangun secara ilegal, dan bla..bla..bla.
Karena ku tidak mengerti persoalannya, ya ku dengarkan saja secara baik-baik, dan mengangguk saja pura-pura mengerti, dan pasang muka empati ke beliau. Setidaknya ketika kita sudah mendengarkan persoalan orang, setidaknya plong sedikitlah hatinya. Pikirku pada saat itu.
Akhirnya setengah jam sudah, mungkin udah mulai lega, dan Ayahku pun juga belum datang, Ibu itu pun langsung pamit meninggalkan rumah. Beberapa waktu kemudian Ayahku pulang, dan menceritakan ada warganya yang mengadu dan membutuhkan solusi penengah untuk urusan ini.
Keesokan harinya, beliau kembali ke rumah dan bertemu dengan Ayah secara langsung. Kemungkinan beliau sudah menelfon ayah dulu, sehingga bisa bertemu di rumahku. Apa yang diceritakan saat bertemu denganku, begitu pula yang beliau ceritakan kepada Ayah. Karena Ayah juga tidak tahu soal persoalan yang beliau adukan, tentu ayah berusaha memahami baik-baik dan berbaik sangka saja dulu. Dan belum bisa mengambil keputusan. Intinya dari pertemuan tersebut, Ayah ku besok akan cek langsung ke rumah beliau dan kondisi di belakang rumahnya.
Setelah di cek sama Ayah, saat ayah pulang dan menceritakan kasusnya. Ternyata Ibu ini, membangun tidak memikirkan tetangganya yang dibelakang dan di samping rumah. Namanya rumah komplek, tentu samping kiri dan kanan serta belakang langsung bersentuhan dengan rumah tetangga. Samping kiri dan kanan sudah pasti tidak bisa mengambil sumber cahaya untuk masuk ke dalam rumah. Tidak hanya itu, untuk pembuangan air dari loteng kita pun tidak bisa untuk kita arahkan di sana, meskipun saat ini samping kiri dan kanan, serta belakang masih berstatus tanah kosong belum dihuni.
Sementara Ibu ini, mengambil sumber cahaya di sebelah kanan rumah dan belakang rumah. Lalu persoalan baru muncul sekarang, karena tanah kanan dan belakang rumah sudah dibangun, tentu tetangga baru Ibu tersebut meninggikan dinding rumahnya, sehingga sumber cahaya masuk ke rumahnya menjadi tertutup. Meskipun disinggung, namun ini tidak dipersoalkannya betul. Tapi memang ini salahnya sendiri mendesign rumah yang kurang tepat.
Persoalan yang di ungkapkannya adalah pembuangan air ketika hari hujan, karena tertutup di bagian belakang tentu merembes ke dindingnya sendiri dan masuk lah air tersebut ke kamar belakang dan dapur serta kamar mandinya. Harusnya ada selokan pembatas maksimal 30 cm meter antar belakang rumah, namun si tetangga baru menutup celah tersebut dan membangun langsung di batas belakang rumah mereka berdua. Ini yang di paling di hebohkannya.
Nah, dari tetangga bagian belakang di dapatkan, saat pertama kali Ibu tersebut datang saat proses rumah sedang dibangun, langsung marah dan mengusir tukangnya. Padahal, gak ada haknya untuk melarang membangun rumah, apalagi itu tanah sudah bersertifikat atas nama pribadinya. Seharusnya ketika ibu ini ngomong baik-baik, mungkin celah tersebut tidak akan ditutup. Namun, merasa tersinggung si tetangga langsung menutup celah tersebut.
Akhirnya karena rumah tetangga ini sudah dibangun dua tingkat dan gak mungkin dirobohkan, dan tidak ada yang bisa saling mengalah, maka Ayah mengambil keputusan bahwa ini keduanya sama-sama salah, si Ibu yang melaporkan sudah design rumahnya tidak mengakomodir limpahan air hujannya, lalu datang dan menuduh yang tidak-tidak tetangga barunya. Si tetangga udah jelas aturan ada celah maksimal 30 cm, ini malah di tutup, tentu celah di tetangga kiri dan kanan juga akan tertutup.
Karena tidak ada yang mengalah dan mementingkan egonya, Ayah pun angkat tangan. Yang jelas ini sudah di mediasi antar kedua belah pihak, namun tidak ada yang mengalah. Selanjutnya ayah, mengembalikan urusan ini kedua pihak tersebut. Entah, gimana persoalan itu sekarang.
Ada beberapa pelajaran yang bisa di petik dari persoalan ini.
Pertama, ketika kita membangun rumah di sebuah komplek, yang biasanya berdempetan kiri kanan dan belakang, maka perhatikan pula hak tetangga kiri kanan dan belakang. Jangan sampai kita mengambil hak orang atau menzholimi tetangga, seperti mengarahkan lubang pembuangan air hujan dari genteng kita ke tanah tetangga sebelah. Buatkan design agar pembuangannya bisa kedepan, sehingga kita dan tetangga tidak terganggu.
Kedua, patuhi aturan yang ada. Jika memang ada celah diantara belakang rumah, jangan ditutup celah tersebut. Karena itu bisa menjadi sarana aliran tumpahan air hujan dari genteng rumah kita dan rumah belakang. Nah, sarana ini tentunya akan mengalir ke selokan yang lebih besar, sehingga tidak ada yang merembes ke dalam rumah.
Ketiga, komunikasi yang baik. Dengan komunikasi yang baik sedari awal, tentu masalah ini bisa dituntaskan dengan cepat dan ada solusi yang terbaik,dan kita pun tidak berantem. Termasuk jangan pula berburuk sangka terhadap tetangga, bahkan ke Pejabat RT atau pun RW setempat. Mereka pasti membantu mengatasi masalah yang di hadapi warganya.
Tidak ada sebenarnya masalah yang pelak, kita saja yang mungkin membuat masalah yang nampaknya kecil sebenarnya menjadi masalah besar dan tak kunjung menemukan titik temunya.
Komentar
Posting Komentar
Mohon kesediaannya untuk meninggalkan komentar untuk tulisan ini..
(maaf untuk tidak menyertakan link aktif dan spam)